·
Teori
Harapan dan implikasi praktisnya
Teori pengharapan berargumen bahwa kekuatan dari suatu
kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada
kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu
keluaran tertentu , dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu
tersebut.
Dalam istilah yang lebih praktis, teori pengharapan,
mengatakan seseorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang
tinggi bila ia menyakini upaya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang
baik (Victor Vroom dalam Robbin 2003:229) Karena ego manusia yang selalu
menginginkan hasil yang baik baik saja, daya penggerak yang memotivasi semangat
kerja seseorang terkandung dari harapan yang akan diperolehnya pada masa depan
(Hasibuan 2001:165). Apabila harapan dapat menjadi kenyataan, karyawan akan
cenderung meningkatkan gairah kerjanya. Sebaliknya jika harapan tidak tercapai,
karyawan akan menjdadi malas.
Teori ini dikemukakan oleh Victor Vroom yang mendasarkan
teorinya pada tiga konsep penting, yaitu:
1. harapan
(expentancy)
2. nilai
(Valence)
3. pertautan
(Inatrumentality)
-
Harapan
(expentancy) adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena prilaku
.Harapan merupakan propabilitas yang memiliki nilai berkisar nol yang berati
tidak ada kemungkinan hingga satu yang berarti kepastian
-
Nilai
(Valence) adalah akibat dari prilaku tertentu mempunyai nilai atau martabat
tertentu (daya atau nilai motivasi) bagi setiap individu tertentu
-
Pertautan
(Inatrumentality) adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama
akan dihubungkan dengn hasil tingkat ke dua.Vroom mengemukakan bahwa pertautan
dapat mempunyai nilai yang berkisar antara –1 yang menunjukan persepsi bahwa
tercapinya tingkat ke dua adalah pasti tanpa hasis tingkat pertama dan tidak
mungkin timbul dengan tercapainya hasil tingkat pertama dan positip satu +1
yang menunjukan bahwa hasil tingkat pertama perlu dan sudah cukup untuk
menimbulkan hasil tingkat ke dua.
Teori ini termasuk kedalam Teori – Teori Kesadaran. Teori
ini menunjukkan pendekatan kognitif terhadap motivasi kerja, yang menekankan
kepada kemampuan individu dalam pemrosesan informasi. Kekuatan motivasi yang
mendasarinya bukanlah sebuah kebutuhan. Pekerja diasumsikan melakukan penilaian
rasional terhadap situasi kerjanya dengan mengumpulkan informasi untuk diolah,
kemudian membuat keputusanyang optimal. Kebutuhan hanya digunakan untuk
membantu dalam memahami bagaimana pekerja membuat pilihan berdasarkan pada
keyakinan persepsi dan nilai – nilai mereka.. Salah satu teori harapan yang
terkait dengan kerja dikemukakan oleh George Poulus, Mathoney dan Jones (1957)
yang mengacu pada Path-Goal Theory. Mereka mengemukakan bahwa para pekerja akan
cenderung menjadi produktif apabila mereka memandang produktivitas yang tinggi
itu sebagai satu cara atau lebih pada tujuan pribadi.
Sebaliknya, kinerja yang rendah hanyalah satu jalan
menuju tujuan pribadi. Misalnya produktivitas yang tinggi akan lebihcepat atau
mudah untuk terpenuhinya tujuan pribadi daripada pekerja yang hasilnya terbatas
atau lebih rendah. Dengan menggunakan pendekatan”jalan ke arah tujuan
(path-goal)” ini, Vroom (1976) menyarankan suatu teori motivasi kerjayang
dikenal dengan singkatan VIE – Valensi/kemampuan (valence), sarana
(Instrumentality), dan harapan (Expectancy). Pada kesempatan ini yang dibahas
yaitu mengenai Teori Harapan (Expectancy Theory). Nadler & Lawler
menyatakan bahwa terlepas dari teori VIE sebagaimana yang diutarakan para ahli
lainnya, namun ternyata teori VIE menerima terlalu banyak dukungan empiis karena
nilainya yang positif bagi organisasi. Secar khusus, teori ini memberikan
beberapa implikasi yang jelas dan positif bagi manajer, dimana manajer
hendaknya memperhatikan petunjuk sebagai berikut:
Menentukan mana penghargaan yang lebih penting para pegawai.
Misalnya, kebanyakan manajer seringkali memandang bahwa pemberian gaji dan
tunjangan yang tinggi sangat diinginkan pegawai, namun setelah dilakukan
pnlitian dia terkejut karena hasilnya justru menunjukkan bahwa hal tersebut
tidak terbukti. Demikian perlu dicatat bahwa keinginan para pegawai berbeda –
beda,dan oleh karena itu mereka tidak memberikan respon dengan cara yang sama
terhadap sistem insentif perusahaan. Mendefinisikan kinerja yang baik dengan
menetapkan secara benar standar kuantitas dan kualitas kerja yang terukur.
Memastikan bahwa tujuan kinerja bersifat realistik, apabila pegawai tidak
mencapai tujuan kinerja yang diharapkan, maka motivasi untuk bekerja pun
menjadi rendah. Pegawai harus merasakan bahwa penghargaan yang diterima terasa
adil. Tetapi sistem motivasi yang berdasarkan pada equity (keadilan) jangan
dikacaukan dengan sistem yang berdasarkan equality (kesamaan), dimana seluruh
pegawai diberikan dengan penghargaan yang sama dengan mengabaikan kualitas
kerja dan hasil kerja masing – masing individu. Mengingat ada beberapa
organisasi yang memiliki aturan kerja yang kaku dan sistem penghargaan yang
mendorong para pekerja untuk mencapai hasil yang setinggi – tingginya, maka
para manajer hendaknya merancang sistem penghargaan yang lebih fleksibel dan
equitable. Contoh Kasus PHK:
Dari sudut pandang Expectancy Theory, para pekerja tidak
termotivasi untuk bekerja keras karena tidak adanya hubungan antara prestasi
kerja dengan penghasilan. Persepsi mereka adalah bahwa kerja keras tidak akan
memberikan mereka penghasilan yang diharapkan. Malahan, dengan adanya PHK,
mereka memiliki persepsi bahwa walaupun telah bekerja keras, kadang-kadang
mereka malah mendatangkan hasil yang tidak diinginkan, misalnya PHK. Konsisten
dengan teori ini, para pekerja pun menunjukkan motivasi yang rendah dalam
melakukan pekerjannya.
Rekomendasi:
Kaitkan penghasilan dengan prestasi. Sesuai dengan Expectancy Theory (Vroom,
dalam Donovan, 2001), tiga hal akan direkomendasikan untuk perusahaan dalam
Contoh Kasus:
· Tingkatkan
Expectancy: Para pekerja perlu merasa bahwa mereka mampu mencapai prestasi yang
tinggi. Jika perlu, perusahaan perlu memberikan pelatihan untuk memastikan
bahwa para karyawan memang memiliki keahlian yang dituntut oleh masing-masing
pekerjaannya.
· Tingkatkan
Instrumentality: Ciptakan reward system yang terkait dengan prestasi. Misalnya,
selain gaji pokok, tim yang berhasil mencapai targetnya secara konsisten akan
mendapatkan bonus. Dengan cara ini, para karyawan mengetahui bahwa prestasi
yang lebih baik memang benar akan mendatangkan penghasilan yang lebih baik
pula.
· Tingkatkan
Valence: Karena masing-masing individu memiliki penilaian yang berbeda,
sangatlah sulit bagi perusahaan untuk merancang reward system yang memiliki
nilai tinggi bagi setiap individu karyawan. Salah satu cara mengatasi hal ini
adalah dengan memberikan poin bonus yang bisa ditukarkan dengan berbagai jenis
hal sesuai kebutuhan individu, misalnya poin bonus bisa ditukarkan dengan hari
cuti, uang, kupon makan, dsb. Konsekuensi dari program ini adalah perusahaan
harus menerapkan sistem pencatatan yang rapi untuk memastikan bahwa
masing-masing karyawan mendapatkan poin bonus secara adil.
·
Teori
tujuan dan implikasi praktisnya
Locke menguslkan model kognitif yang dinamakan teori
tujuan, yang mencoba menjelaskan hubungan hubungan antara niat/intentions
dengan perilaku.Aturan dasarnya ialah penetapan dari tujuan-tujuan secara
sadar. Hasil penelitian Edwin Locke dan rekan-rekan (1968), menunjukkan efek
positif dari teori tujuan pada prilaku kerja.
Penetapan
tujuan memiliki empat macam mekanisme:
a.
Tujuan adalah yang mengarahkan perhatian
b.
Tujuan adalah yang mengatur upaya
c.
Tujuan adalah meningkatkan persistensi
d.
Tujuan adalah menunjang strategi untuk dan rencana kegiatan
Leavitt, J.H., 1992
Psikologi Manajemen, Alih Bahasa Zarkasi, M., Jakarta: Penerbit Erlangga
Sunyoto Munandar,
Ashar.(2001).Psikologi Industri dan Organisasi.Jakarta: Universitas
Indonesia
Ramlan Surbakti.
(1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia